The Night Was Brighter When You Lingered. And Love Was A Mystery ‘til You Walk By My Side.
Mungkin sial bagi Hiranya, ia kini harus mendengarkan celotehan milik Nio dan Rasya juga siswa-siswi yang ada di samping meja kantin yang ia duduki, hanya karena eksistensi laki-laki yang duduk di kursi kantin paling pojok, memakan bakso dengan tenang walau semua mulut kini justru mengunyah dengan lama nama miliknya.
“Baskara emang keren banget, tauk! Dia kemarin ditunjuk sama bang Johan kan buat masuk ke perkumpulan mereka. Padahal dia masih kelas 10.”
“Denger-denger, sih, Bas emang anak motor juga kayak bang Johan sama temen-temennya. Kurang keren apalagi coba.”
Saat Nio juga Rasya sibuk membicarakan tentang Baskara, Hiranya hanya memakan nasi ayam geprek miliknya dengan pelan. Telinganya tetap mendengar setiap info tentang Baskara. Hiranya pikir, dalam pandangan miliknya, Baskara Ko Wira memang laki-laki tampan. Saat pengenalan masa sekolah pun, dia tersorot sangat sebagai pemimpin pembukaan acara dan menjadi buah bibir dari kelas ke kelas lainnya. Hiranya sudah demikian akrab jika ia mendengar celetukan, “eh anak kelas 10 IPS 1 yang kemarin jadi pemimpin pas acara pembukaan itu siapa namanya?” di dalam kantin saat Hiranya duduk dan meminum kopi sachetan miliknya.
“Ai tuh yang diem aja kalau kita ngomongin Bas!”
Hiranya hanya tertawa kecil mendengar perkataan Nio. Bukan ia tak mau ikut dalam perbincangan temannya, ia hanya bingung dalam jawaban yang akan ia keluarkan. Sehingga Hiranya memilih untuk diam dan kembali melanjutkan acara makannya. Mungkin, jika ia ditanya tentang Baskara oleh orang lain, Hiranya hanya akan menjawab kalau Baskara adalah laki-laki nakal dari kelas 10 IPS 1 yang sering keluar dari kelas jika jam kosong, bermain basket di lapangan juga duduk nongkrong bersama teman-temannya di tangga dekat laboratorium. Atau mungkin ia akan menjawab bahwa Baskara adalah laki-laki yang seringkali duduk di kantin paling pojok, salah satu siswa yang namanya sering diucap di penjuru sekolah, juga laki-laki yang memiliki knalpot motor berisik.
“Bas emang ganteng, kok.”
Memang Hiranya tak bohong, Baskara Ko Wira dengan wajah tampannya belum ada yang menandingi. Maka betapa cepat sekali laki-laki itu merebak menjadi salah satu topik yang senang di bicarakan, atau tanpa ba-bi-bu ditunjuk untuk menjadi perwakilan angkatan. Tak ada celah untuk menjelekkan Baskara kecuali knalpot motornya yang berisik, mungkin bagi Hiranya sendiri. Nio pun dengan cepat menyangkal saat Hiranya mengatakan bahwa knalpot milik Baskara berisik. Nio menjawab jika itu adalah hal yang lumrah karena Baskara memang terkenal juga sebagai anak motor yang seringkali mengotak-atik motornya agar terlihat keren, salah satunya dengan knalpot berisik yang selalu diejek oleh Hiranya.
Hanya sebatas itu yang Hiranya ketahui tentang Baskara. Mungkin jika ia mau bertanya pada Nio atau Rasya, Hiranya pasti sudah tahu banyak. Namun ia enggan melakukannya. Cukup Hiranya tahu jika Baskara Ko Wira adalah lelaki di kelas 10 IPS 1 dengan knalpot berisik, itu cukup baginya.
Setelah menghabiskan sebagian harinya di sekolah, kini Hiranya bisa pulang ke rumah, walau harus menunggu parkiran sepi karena motornya yang ada di depan, tak memungkinkan jika ia harus mengeluarkan banyaknya motor sendirian. Sehingga Hiranya kini memilih untuk duduk di depan kelas beberapa menit sembari melihat siswa-siswi yang sedang berlalu-lalang. Nio pun Rasya sudah pulang terlebih dahulu, mereka tak perlu mengeluarkan motor karena menggunakan ojek online. Membuat Hiranya harus duduk sendirian.
Menunggu beberapa menit dan melihat jika sekolah sudah sepi, Hiranya kini memilih untuk segera berdiri dan pergi menuju parkiran. Sudah tak ramai lagi, Hiranya melihat jika motornya sudah bisa untuk keluar, maka ia berjalan dengan cepat karena tak sabar untuk tidur siang. Namun, sial, ban motornya bocor. Hiranya memejamkan mata, memikirkan mengapa ban miliknya bisa bocor saat tadi pagi masih terlihat baik-baik saja, pun dia memarkirkan tak pada tempat yang panas, karena parkiran sudah dilengkapi oleh atap dari seng. Hiranya kebingungan, ia mungkin bisa mendorong motornya menuju bengkel, namun tempatnya lumayan jauh dari sekolah. Tak ada yang harus ia lakukan kini selain mendorong motornya, maka ia segera memundurkan kendaraannya itu. Saat sedang memundurkan motor untuk keluar dari tempat parkir, terdengar suara dari samping yang membuat Hiranya langsung menengok.
“Bocor ya motornya?”
Itu Baskara. Baskara Ko Wira sedang berdiri di sampingnya dengan rambut yang sudah acak-acakan juga tas tergantung pada bahu kanannya. Bertanya pada Hiranya akan keadaan ban yang kini memang sudah tak terisi angin. Hiranya terdiam sebentar, tak menyangka jika ia bisa sedekat ini dengan Baskara dan mencium aroma wangi parfum juga rokok dari laki-laki itu. Rasya tak bohong, Baskara memang wangi.
“Iya, bocor.”
Baskara terlihat mengangguk dan berjongkok untuk melihat keadaan ban motor milik Hiranya. Tas Baskara kini tergeletak di tanah. Dahinya berkerut dengan tangan yang sibuk meraba ban. Hiranya hanya bisa berdiri dengan kaku karena tak tahu bagaimana ia harus bersikap. Ia hanya tahu Baskara dari mulut Nio juga Rasya, tak pernah ia sedekat ini dengan laki-laki itu.
“Ban lu udah tipis ini, makanya bocor. Ntar, gua panggilin temen-temen gua. Gua bantu bawa ke bengkel.”
“Nggak apa-apa kok, Bas. Gua bisa bawa sendiri ke bengkel.”
Baskara terlihat menggeleng. “Nggak usah nolak. Tunggu ae disini. Bentar.”
Akhirnya Hiranya hanya bisa mengangguk dan menunggu dengan tenang di jok motornya. Terlihat dari parkiran bahwa Baskara sedang mengajak semua temannya untuk berjalan menuju tempat parkir, membuat Hiranya tiba-tiba diserang oleh rasa gugup. Tapi, jika tadinya Hiranya menolak bantuan dari Baskara, ia tak mungkin bisa sampai rumah, pun Baskara terlihat memaksa, jadi Hiranya pikir bahwa tak masalah sesekali menerima bantuan dari laki-laki itu.
“Coba, Gar. Pake stut motor aja, ntar gua yang naikin nih motor terus lu dorong pake motor lu. Biar dia di bonceng si Leo di belakang.”
“Sabi-sabi. Tapi rada berat ini mah. Soalnya ban belakangnya abis. Ntar kalau gitu, gue ambil motornya dulu. Nanti diakalin.”
Edgar langsung pergi bersama Leo untuk mengambil motor mereka, sedangkan Baskara terlihat sedang mengangkat telepon. “Iya, Sep. Motor gua tolong bawain balik ke warkop. Gua ambil ntaran.”
Hiranya hanya bisa terdiam, menunggu Baskara juga teman-temannya untuk membantu seonggok motor yang ban belakangnya sudah kempes tak berisi. Jika ia tak menyuruh Nio atau Rasya pulang duluan, mungkin ia tak akan sesial ini. Ayah pun mestinya tak akan mau untuk izin keluar dari kantor hanya karena ban motor milik Hiranya bocor. Hiranya sudah seharusnya berterimakasih nantinya setelah motor miliknya selesai di antar ke bengkel. Baskara tak mungkin menunggunya juga kan?
“Coba bilang ke ayah lu kalau bannya harus diganti. Gua talangin dulu nggak masalah.” Baskara kini kembali berjongkok untuk melihat ban motor milik Hiranya. Sedangkan Hiranya hanya mengangguk kaku dan mengirim pesan kepada ayahnya kalau ban miliknya sudah menipis dan bocor, harus segera di ganti.
“Nggak apa-apa, Bas?”
“Nggak masalah, Ra. Gua ada kok buat nalangin.”
Dan mulai lah kini terlihat Baskara yang sedang menaiki motor miliknya, diikuti oleh Edgar yang menaruh kakinya pada knalpot motor milik Hiranya, melakukan stut motor di jalan tikus yang seringkali Baskara lewati jika ingin pergi ke bengkel. Kadang Baskara harus mendorong motor milik Hiranya menggunakan kaki karena bannya sudah kempes dan susah untuk di stut. Hiranya hanya terdiam digandeng oleh Leo, walau kadang beberapa kali laki-laki itu juga menanyakan masalah anak-anak kelas Hiranya.
“Iya, mas. Ini ban-nya udah tipis. Saya izin ganti. Ban dalemnya juga udah nggak bisa di pakai.”
“Yang belakang aja, kan, bang? Soalnya yang depan masih bagus. Kalau iya, tolong ganti ae, bang. Yang ukuran 90/90 ring 14. Sekalian ban dalemnya.” Baskara berujar diikuti oleh Edgar yang berdiri di samping laki-laki itu.
“Iya, mas. Tolong lakuin pembayaran dulu. Nanti baru saya tanganin.”
Leo juga Edgar kini duduk di salah satu kursi yang disediakan oleh bengkel, diikuti Hiranya yang kini ikut terduduk kaku di samping mereka. Kikuk untuk sekedar menoleh atau mengajak bicara, ia tak sedekat itu dengan mereka. Baskara masih terlihat mengobrol dengan salah satu orang bengkel, duduk berjongkok dengan satu kaki berada di depan. Leo terlihat merokok sedangkan Edgar fokus pada handphone miliknya, bermain game. Selang beberapa menit, Leo berdiri dan menginjak putung rokoknya di tanah, lalu berbalik ke arah Hiranya dan meminta izin untuk pulang.
“Hiranya, gua balik duluan, ya.”
“Iya Leo. Makasih, ya. Makasih juga buat Edgar.”
Hiranya berdiri, berterimakasih kepada teman-teman Baskara. Menunggu kedua laki-laki itu untuk pergi dari bengkel. Namun, kini Hiranya merasa bingung, mengapa Baskara juga tak meninggalkan bengkel? Toh, pembayaran sudah laki-laki itu lakukan. Dan tak ada lagi masalah dalam motornya kecuali ban yang sudah menipis. Pun, sedaritadi, Baskara terlihat asik mengobrol dengan beberapa karyawan bengkel.
“Olinya masih bagus, ganti aja bulan depan. Cuma ban lu aja yang udah tipis. Tadi gua minta tolong buat cek-in olinya sekalian.”
Hiranya mengangguk, lalu menggeser sedikit badannya saat tahu bahwa Baskara akan duduk disampingnya. “Iya, Bas.”
“Motornya pernah di servis nggak? Ban lo udah lama itu.”
“Pernah! Tapi gua nggak paham, soalnya ayah yang bilang ke karyawannya. Gua cuma duduk doang.”
Setiap ayah gajian, pria itu selalu mengajak Hiranya untuk pergi ke bengkel dan melihat bagaimana keadaan motor milik anaknya. Tapi Hiranya tak pernah tahu apa saja bagian yang semestinya harus diganti dan ayah tak pernah memberi tahu. Sehingga Hiranya akan menerima jadi motornya yang sudah diservis. Mungkin, ayah memang belum mengganti ban motornya karena terlihat masih bagus. Pun, Hiranya juga tak pernah melewati jalanan yang berbatu juga kasar.
“Em …, Bas, uangnya gua ganti besok, ya? Ayah belum bales dan kayaknya beliau nggak buka handphone.”
Baskara menengok ke arah Hiranya, memasukkan rokok yang akan ia hisap namun urung karena ia ingat bahwa masih ada Hiranya di sampingnya, dan mengangguk setelah mendengar perkataan laki-laki itu. “Aman-aman. Nggak usah sungkan. Temuin aja gua di kelas IPS 1 deket kamar mandi. Gua disana.”
“Siapa yang nggak tau kelas lu, sih, Bas.”
Bagi Hiranya, perkataan yang ia keluarkan memang ada benarnya. Tak mungkin tak ada yang tahu dimana kelas Baskara, ketika laki-laki itu adalah momok yang sering di perbincangkan dimana-mana, merayap dari dinding-dinding kantin hingga telinga Hiranya. Masih ada perkara lain, tentu saja. Tentang bagaimana Baskara adalah laki-laki yang tak nampak cela, membantu orang yang ia temui adalah perkara mudah bagi Baskara, pikir Hiranya. Maka sebab perlakuan milik Baskara lah yang tak pernah menghentikan racau demi racau orang lain tentang laki-laki itu.
“Siapa tau tiba-tiba lupa.”
“Enggak lah!”
“Kalau minta nomornya boleh, dong?”
Hiranya yang sedang menggerakkan kakinya pun terhenti, menoleh ke arah Baskara yang sudah mengeluarkan handphone dan menyodorkan benda itu ke arahnya. Ia tak punya pilihan lain, Baskara sudah sangat baik hari ini, pun akhirnya Hiranya menuliskan nomor teleponnya ke handphone milik Baskara. Tak masalah, ia bisa menambah relasi. Toh, ini Baskara Ko Wira. Seorang Baskara menyimpan nomornya adalah suatu hal yang perlu Hiranya pamerkan besok kepada Nio juga Rasya.
“Mau minum nggak? Atau jajan? Gua cariin di sekitaran sini.”
Hiranya menggeleng dengan cepat, ia tak mau lagi berhutang budi pada Baskara. Hiranya harus menolak. “Nggak usah, Bas! Gua bawa air putih sendiri kok. Udah kenyang banget soalnya gua emang nggak bisa makan banyak.”
“Beneran?”
“Beneran! Nggak usah pokoknya!”
Di sela-sela Baskara yang kini masih memaksa Hiranya untuk menerima tawaran membeli minuman, karyawan yang sedari tadi membenahi servis motor milik Hiranya pun menepuk pundak Baskara. “Mas, motornya sudah boleh dibawa pulang sekarang.”
“Siap! Makasih, mas!”
Terdengar suara langkah kaki yang mulai menjauh, Baskara kini terlihat sedang menaiki motor milik Hiranya, dan membawanya entah pergi kemana. Namun, tak ada tiga menit, laki-laki itu kembali ke bengkel dengan wajah yang penuh senyuman. “Udah enak ini motornya. Coba lu bawa pulang, gua ikutin dari belakang.”
“Nggak usah, Bas! Gua bisa kok pulang sendiri. Lagian ini udah mau malem.”
“Bukan masalah besar. Bawa aja coba, takutnya nanti di tengah perjalanan ternyata masih kurang servisnya.”
Lama Hiranya tak berdiri membuat Baskara menepuk pundak laki-laki itu. Mengarahkan Hiranya untuk segera pulang. Lalu Baskara mulai mengikutinya dari belakang, menggunakan motor milik Edgar. Tangan Hiranya sedikit gemetaran, mencuri-curi pandang lewat spion kanan bagaimana Baskara terlihat menatap punggungnya dengan tajam. Sehingga ia langsung mengalihkan pandangan ke arah depan dan sedikit menaikkan gas motornya. Hiranya hanya ingin segera pulang. Yang nyaris bikin Hiranya tak melihat jika di depannya ada polisi tidur.
“Udah sampe, Bas. Lu pulang aja, ya!”
Pagar putih dengan beberapa tanaman kini terlihat di mata Baskara, itu rumah Hiranya. Lampu depan rumah sudah menyala dengan sepeda lipat yang terlihat terparkir dengan rapi. Juga ada beberapa rumput yang terlihat belum di cabut di beberapa paving yang ada di depan rumah Hiranya.
“Iya, gua pulang, ini. Gua duluan kalau gitu, Ra. Selamat malam.”
Maka selepas itu, Hiranya dapat bernapas dengan lega. Mendudukkan dirinya di depan pagar rumah dengan napas yang masih tak beraturan. Ia bingung mengapa rasanya seperti sesak jika ada di samping Baskara, sesak dengan perasaan yang membuncah. Sebagaimana Baskara mengajaknya berbicara atau sekedar mengantarnya pulang hanya karena takut jika motor Hiranya akan bocor lagi, padahal ia yang membayar dan menggantinya dengan yang baru. Tak mungkin juga akan bocor lagi di tengah jalan.
Tak mudah bagi Hiranya untuk sekedar berbicara santai bersama Baskara. Di awal, ia mungkin bisa berpikir jika mengobrol dengan Baskara adalah hal yang mudah, namun ternyata salah. Barangkali hanya Hiranya saja yang mungkin merasakan bagaimana dirinya seperti akan meledak saat mendengar suara milik Baskara, atau ia yang tak sengaja melihat bagaimana kumis tipis yang ada di wajah laki-laki itu di bawah atap bengkel tadi sore. Pada bau rokok yang ada di seragam milik Baskara juga bagaimana laki-laki itu terlihat tersenyum lega saat melihat ia dapat pulang dengan selamat ke rumah, Hiranya tak lagi waras.
Jika ada hari yang paling Hiranya hindari mungkin adalah hari ini, dimana hari ia harus bertemu dengan Baskara setelah kemarin laki-laki itu akhirnya mau memberitahukan seberapa habis uang servis motor milik Hiranya. Baskara memang benar-benar mengiriminya pesan, pun Hiranya sekonyong-konyong kini mempunyai nomor Baskara. Awal saat Baskara tak mau memberitahukan berapa nominal yang harus Hiranya ganti, sampai dimana Hiranya akan menangis jika laki-laki itu tak segera memberitahu. Membuat Baskara akhirnya mengirimkan nota juga rincian yang masih laki-laki itu simpan.
“Ranya! Cari Baskara?” Leo terlihat datang ke arah Hiranya, menanyakan bahwasanya Hiranya apakah akan mencari Baskara atau ada keperluan lain.
“Iya, nih. Ada nggak, ya, Baskara?”
Hingga akhirnya laki-laki yang kemarin Hiranya pusingkan kini tepat ada di depannya, masih dengan bau rokok yang melekat pada seragam juga bagaimana acak-acakan rambut laki-laki itu. “Ini beneran mau di bayar, Ra?”
“Iya, lah! Pokoknya, nih!” Hiranya memasukkan uangnya kedalam saku milik Baskara, mendorong laki-laki itu untuk mundur, membuat Hiranya harus merasakan lagi sengatan asing yang membuat dirinya membuncah juga meledak. “Diterima! Bye!”
“Tunggu!”
“Kenapa?”
“Mau ke kantin bareng nggak, Ra?”
Itu adalah mutlak. Bagaimana kini Hiranya akhirnya duduk memakan sotonya dengan canggung disamping Baskara, melihat banyaknya pasang mata yang mulai memindai dari atas hingga bawah, hingga soto yang ia makan rasanya menjadi hambar. Namun, saat melihat bagaimana Baskara yang selalu tersenyum dan menawari banyak jajanan untuk dirinya, Hiranya pikir, ini adalah hal yang mungkin tak akan ia lupakan. Baskara terlihat membuka plastik kerupuk dan mengarahkannya pada Hiranya, memesan teh hangat karena Hiranya bilang pada Baskara bahwa tubuhnya sedikit meriang. Meladeni beberapa pertanyaan teman-teman Baskara bahwa Hiranya adalah teman Baskara yang baru saja laki-laki itu kenal. Menghantarkan kembali perasaan membuncah milik Hiranya yang mungkin akan merenggut udara di sekitarnya.
“Biasanya gua liat lu makan nasi ayam geprek disana. Lu belum nyoba soto disini, kan? Enak nggak, Ra?”
“Enak, kok, Bas!” Hiranya tak berbohong, soto yang ia makan memang enak, walau beberapa kali terasa hambar di mulutnya karena tak ia kunyah dengan baik. Dengan tangan yang mengambil kerupuk di depannya, Hiranya meladeni pertanyaan Baskara tentang dirinya.
“Gua sering liat, lu, tau.”
“Ngaco, Bas! Ngapain gua di liat coba.”
“Cantik aja.”
Sepanjang hidup yang Hiranya jalani, tak pernah ada satu orangpun pernah memuji dirinya. Bahkan ayah juga tak pernah memujinya, namun ayah kerapkali bilang bahwa Hiranya mirip dengan ibu. Hiranya pikir, dirinya memang tak sebagus itu untuk dipuji, sehingga ia hidup terbiasa tanpa pujian. Beberapa kali memang dia berpikir tentang dirinya sendiri, entah dibagian mana yang mungkin tak ditemukan menarik oleh orang lain. Namun, saat Baskara dengan lancangnya bilang bahwa ia cantik, Hiranya lebih-lebih lagi tak waras. Hingga akhirnya laki-laki itu hanya tertawa canggung.
“Kalau boong jangan gitu.”
“Siapa yang boong? Tanya Edgar coba. Gua seringkali nanya lu kelas mana juga kok, tapi Edgar juga nggak kenal lu. Padahal sering gua tunjukin yang mana muka lu ke dia. Takdir lucu, gua sendiri yang malah nemuin lu lagi bingung ngeliat motor sendiri bocor.”
“Bas … ?”
“Jangan halangin gua buat deketin lu, ya, Ra.”
Beruntunglah bel masuk terdengar nyaring, kesempatan untuk Hiranya pergi sebelum semua buyar karena tangannya dicekal oleh Baskara. “Jawab dulu, Ra.”
“Bas boleh kok. Gua mau pergi ke kelas dulu, nanti dimarahin guru!”
“Semangat belajarnya, Hiranya!”
Yang kemudian Hiranya balas anggukan, pergi menuju kelasnya dengan perasaan yang kini sudah ia pahami. Mungkin ajakan Baskara memang hal yang harus ia terima, karena ia juga ingin. Karena Hiranya ingin Baskara. Siang hari di kantin saat itu kini mengubah banyak hal, dimana ia yang dulu selalu biasa saja saat Nio atau Rasya sedang membicarakan Baskara, kini seringkali mendengarkan dengan seksama. Bagaimana Nio kadangkala menanyakan mengapa dulu ia bisa makan bersama Baskara yang dibalas oleh Hiranya bahwa Baskara telah menolongnya dan itu bentuk balas budi. Dan Nio tak lagi menanyakan.
Ia belum bisa memberitahu apa yang sudah beberapa bulan ini Hiranya lakukan bersama Baskara kepada Nio atau Rasya. Karena memang ia tak ada dalam satu hubungan dengan Baskara. Walau mereka sudah beberapa kali terlihat keluar bersama saat malam untuk sekedar mencari makan atau diam-diam bertemu di belakang kamar mandi, melihat wajah satu sama lain. Baskara masihlah menjadi biang di mulut-mulut para siswa-siswi, tak ada hentinya.
“Kamu ngajak ketemu mulu!”
“Maaf, Ra. Abisnya kangen banget, suwer! Aku kangen banget sama kamu. Kemarin aku harus kumpul sama bang Johan, jadi kita nggak keluar.”
Di dalam kresek yang Baskara bawa, berisi beberapa jajanan yang Hiranya suka beserta minuman botol. Berusaha meminta maaf karena ia kemarin mereka tak bisa menghabiskan waktu berdua, padahal Baskara sudah menanti-nanti dimana ia dan Hiranya akan memakan bakso yang ada di samping alun-alun. Menanti dimana keluar bersama Hiranya dengan laki-laki itu berada di jok belakangnya adalah hal yang Baskara sukai.
“Mau jadi pacarku nggak, Ra?”
Kresek yang tadinya Hiranya pegang kini jatuh pada tanah yang mereka pijak. Dengan langkah kaki yang mulai terdengar dan tubrukan badan dimana kini Hiranya memeluk Baskara dengan erat. Baskara adalah kekasihnya sekarang. Tak ada hal lagi yang Hiranya inginkan.
“Aku besok ikut lomba voli antar kelas pas classmeeting.”
“Kerennya pacar aku! Aku nanti dukung kamu, dah. Aku ajak bang Johan sama rombongannya buat dukung kamu. Edgar juga harus ada soalnya dia paling rame.”
“BAAAAAS! Kan belum!”
“Tapi aku pasti lihat, lah, sayang! Perdana ngelihat pacarku main bola voli, nih! Boleh selundupin anak sekolah lain nggak? Kalau iya aku bawa semua temenku dari sekolah lain.”
“Ngaco! Ya nggak boleh, lah!”
Bakso yang ada di depan mereka memang sudah habis, namun obrolan yang menemani mereka pada jam sepuluh malam sama sekali tak pernah padam. Baskara dengan senang hati akan menanggapi semua racau milik Hiranya. Sebaliknya, Hiranya akan selalu dengan senang menjawab apapun yang Baskara tanyakan. Beberapa kali mereka harus memesan minuman agar diperbolehkan untuk duduk lebih lama. Hiranya tak mau beranjak pergi ke tempat lain, ia hanya mau duduk di warung bakso dengan Baskara.
“Aku belum kasih tau Nio sama Rasya.”
“Nggak apa-apa, sayang. Kasih tau kalau kamu udah siap. Mereka nggak akan kabur.”
Itu lebih dari sekedar yang Hiranya inginkan, Baskara selalu memberinya solusi yang menyenangkan. Membuat dirinya tak harus dirundung rasa bersalah karena tak memberitahu Nio juga Rasya, padahal jika diberitahu pun pasti keduanya akan merasa senang melihat akhirnya Hiranya bisa berpacaran.
Hingga suatu hari saat classmeeting akhirnya di gelar. Terlihat Hiranya yang sedang sibuk memakai kaos olahraga dibantu oleh Nio, lalu meregangkan badannya untuk menghindari rasa gugup yang tiba-tiba menyerang. Baskara tak ikut dalam classmeeting, ia hanya akan jadi penonton. Tak tahu alasan pasti mengapa laki-laki itu tak mau untuk bergabung, padahal jika ia mau, Hiranya yakin sorakan demi sorakan akan pasti memekak telinga.
“AI KAMU PASTI BISA! SEMANGAT AI DARI NIO DAN RASYA!”
Tadinya Hiranya berharap jikalau acara classmeeting akan di undur karena hujan. Namun, setelah melihat bagaimana Baskara benar-benar membawa semua teman-temannya bahkan angkatan kelas 11 juga 12 untuk duduk di samping kiri seperti apa yang laki-laki itu katakan dulu di warung bakso, Hiranya pikir, ia tak harus gugup juga merasa tegang. Ada Baskara di sampingnya, sedang tersenyum manis dan mengedipkan matanya ke arahnya, yang dibalas delikan oleh Hiranya
Tak ada yang tahu jika Baskara kini telah berpacaran dengan Hiranya. Mereka memang tak berniat untuk membuka hubungan mereka, pun, jika akhirnya mereka tahu, itu bukan masalah besar juga. Toh, sekarang Hiranya sudah tak takut lagi karena Baskara memang benar-benar pacarnya.
Pada awal-awal bermain, pihak lawan tak menunjukkan sama sekali bahwa mereka akan melakukan hal licik. Namun, setelah akhirnya mereka berputar untuk berpindah tempat, lalu memulai permainan lagi pada babak terakhir, beberapa kali mereka mengarahkan bola pada teman Hiranya, Shakila, karena mereka tahu bahwa Shakila belum terlalu mahir dalam bermain bola voli. Hiranya yang berada di dekat Shakila pun terkadang akan langsung berlari untuk menangkap bola. Terkadang Hiranya harus berusaha untuk mengarahkan bola ke arah dimana lawan akan lengah. Hingga Hiranya sedikit lelah dan ngos-ngosan.
“HIRANYA ZAULI MUNEER! SEMANGAT, SAYANG!”
Pukulan bola dari lawan keluar dari garis. Namun tak ada satupun yang mengambil setelah mereka mendengar bagaimana Baskara berteriak dengan lantang. Hiranya, yang mendengar teriakan itu pun merasa malu, memilih menunduk disaat semua orang kini akhirnya melayangkan beberapa godaan. Mulai dari bang Johan yang Hiranya baru kenal juga teman-teman bang Johan yang lain. Nio dan Rasya pun yang tadinya terduduk dengan tegang mulai berdiri dengan wajah terkejut. Membuat Hiranya nantinya harus menjelaskan semuanya kepada temannya itu. Baskara masih terlihat menyemangatinya, dibantu oleh Edgar yang lebih semangat untuk berteriak.
“SEMANGAT HIRANYA PACAR BASKARA!”
Akhirnya, selepas itu, wasit menyuruh mereka untuk beristirahat mengambil minum. Baskara dengan sigap berlari ke arah Hiranya dan mengajak kekasihnya itu untuk mengambil minum yang ada di bagian kiri tempat dimana Baskara duduk. Tak lepas dari berapa banyak pandangan melayang pada mereka.
“Kamu nggak harus bantuin Shakila. Toh di samping Shakila kan masih ada orang. Kamu kecapekan sendiri, kan, Ra.”
“Ya kan biar menang! Kasihan Shakila juga! Mana udah nggak bisa pindah tempat.”
Handuk yang tadinya tersampir di bahu Baskara kini telah di usapkan dengan lembut pada wajah milik Hiranya, mengelap beberapa keringat yang jatuh pada wajah kekasihnya itu. Hiranya hanya menerima perlakuan Baskara dengan senang hati, kembali meminum air putih yang Baskara berikan. Dan kembali ke arah tim-nya untuk berdiskusi. Walau beberapa pertanyaan yang keluar adalah bagaimana ia bisa berpacaran dengan Baskara padahal selama ini mereka tak terlihat dekat, yang hanya Hiranya balas dengan senyuman.
Setelah beberapa kali babak, akhirnya tim Hiranya bisa mendapatkan kemenangan. Dan akan kembali bermain besok. Hiranya memilih untuk kembali ke dalam kelas karena situasi lumayan tak menyenangkan baginya setelah akhirnya hubungan ia dengan Baskara sudah banyak yang tahu. Ia tak menyalahkan Baskara, ini adalah hal yang paling benar agar Baskara tak lagi dikejar-kejar oleh orang lain. Namun, Hiranya hanya tak ingin saja ditanyai banyak pertanyaan yang mungkin ia akan malas menjawab nantinya, dibantu oleh Nio juga Rasya, Hiranya kini berjalan kembali ke kelas.
Nio dan Rasya tak banyak bertanya, mereka justru senang, seperti yang Hiranya duga dulu, dan mendukung bagaimana Hiranya juga Baskara. Nio terlihat berpura-pura menangis karena Baskara kini sudah tak single lagi, namun tangannya tetap menggenggam tangan Hiranya dengan erat. Bahkan, Rasya berkata bahwa Nio juga Hiranya bisa makan sepuasnya di kantin dan ia yang akan membayar. Menyalurkan rasa bahagia melihat Hiranya yang tak lagi sendiri.
“Selamat, Ai!”
“Terimakasih Nio!”
Pada saat berakhirnya classmeeting, Hiranya yang paginya diantar oleh ayah, kini memilih pulang bersama Baskara. Hiranya tak harus lagi menutup-nutupi interaksinya dengan Baskara. Menunggu sebentar di parkiran bersama banyaknya murid yang juga sedang mengeluarkan motor, Hiranya kini mengetuk-ngetuk sepatunya ke tanah. Baskara bilang jika ia masih ada urusan di belakang sekolah, yang Hiranya ketahui pasti sedang merokok. Setelah beberapa menit ia lalui, kini Baskara terlihat di matanya, dengan rambut acak-acakan juga senyuman kecil. Mendekat ke arah Hiranya dengan cepat, bau rokok juga parfum samar-samar masuk ke dalam hidung Hiranya.
“Nanti malem makan diluar, ya? Aku mau nyobain soto yang rame di TikTok.”
“Iya, Bas. Buru ayo pulang, aku gerah.”
“Siap, sayang!”
Mereka pulang dengan Hiranya yang langsung merapatkan badan pada Baskara, menghirup aroma kekasihnya juga sesekali menggigit seragam milik laki-laki itu. Yang dibalas dengan cekikikan kecil oleh Baskara. Melihat Hiranya yang gemas-gemas seperti ini, Baskara suka.
“Bau kamu asem!”
“Ra! Kok gitu …. Tadi aja gigit-gigit.”
“Bercanda kok.”
“Raaaaaaaaaaaa!”
Di malam hari yang sudah Baskara janjikan, Baskara pergi ke rumah Hiranya dengan hati yang membuncah. Melihat bagaimana kini Hiranya sudah berada di depan gerbang, berdiri manis menunggu Baskara.
“Tempatnya agak jauh, tapi katanya enak!”
“Iya, aku tau. Rekomendasi makanan dari kamu enak semua.”
“Sayang, mah! Jangan gitu. Aku salting, tauk.”
Hiranya tertawa kecil, mengeratkan pegangan pada pinggang milik Baskara. Menempelkan kepalanya pada punggung laki-laki itu dengan nyaman. Hari ini, kekasihnya tak bau rokok, hanya ada bau parfum juga samar-samar sabun mandi, tangan Baskara pun dingin, menandakan jika pria itu baru saja mandi.
“Nanti sambelnya aku coba duluan. Jangan kamu langsung masukin. Kamu nggak kuat pedes, sayang! Nurut sama pacarnya, ok!”
“Iya, Baaaaaas! Ranya nurut Bas.”
Mengelus pelan rambut Hiranya, lalu Baskara dan kekasihnya itu pun masuk ke dalam warung soto yang berdampingan dengan toko kain. Saat Hiranya masuk, tempatnya tak bisa dikatakan sepi, banyak bapak-bapak yang sedang makan di selingi juga suara tertawa dari beberapa meja. Warungnya pun seperti warung lama, dengan menu yang tertempel di dinding, menggunakan tulisan tangan. Pegangan Baskara pada tangan Hiranya mengerat, mengantri sebentar untuk memesan soto. Tak lupa Bas juga membungkus untuk keluarganya juga keluarga Hiranya, dan akan ia ambil selepas makan.
“Sayang, mau duduk dulu, enggak? Ra nanti capek berdiri sama aku.”
“Nggak! Aku berdiri aja sama Bas disini. Kurang dikit juga, kok!”
“Oke kalau gitu, cinta!”
Hingga akhirnya mereka bisa duduk, menunggu pesanan soto dengan diselingi beberapa perbincangan. Di depan warung soto ada penjual ronde, saat Baskara menawarkan pada Hiranya, kekasihnya itu menggeleng dan bilang jika dia hanya ingin makan soto. Sehingga Baskara urung untuk berdiri.
“Ra, aku tau kamu lama, loh. Dari pas masa pengenalan sekolah, aku udah tau kamu.”
“Bas boong, ah! Orang aku aja nggak pernah sosialisasi kemana-mana.”
“Mana ada aku boong. Orang aku selalu bilang ke Edgar kalau aku suka sama laki-laki yang rambutnya agak coklat, kepalanya kecil banget soalnya kalau pas upacara terus kamu pake topi, wajah kamu tenggelem, Ra. Mana kamu nggak pake name tag lagi. Aku bingung nyarinya kemana.”
“Jangan ejek kepalaku kecil! Ini tuh standart! Kamu tau enggak standart!”
“Iya deh iya, kepala kamu standart. Tapi, Edgar kadang gaplok tangan aku, sayang. Soalnya aku sering nunjuk-nunjuk kamu. Aku mau tanya ke bang Johan juga malu. Tapi, beneran, kamu cantik banget, sayang. Kamu ganteng iya, cantik iya, lucu iya! Seandainya kamu boleh dibawa pulang …, mungkin sekarang kamu udah aku kekep di kantong celana belakang pintu aku.”
“Dieeeeeemmm bisa nggak! Aku malu tau, Bas. Kenapa kamu bisa suka sama aku?”
“Kamu kalau lagi makan ayam geprek di kantin lucu banget. Mulutnya maju-maju ngunyah terus diem doang nggak peduli sekitar. Padahal aku sering banget liatin kamu.” Baskara terkekeh, kembali melanjutkan perkataannya dengan tangan yang mengelus pelan pipi Hiranya. “Aku bersyukur bisa liat kamu pas ban kamu dulu bocor. Kalau enggak, mungkin sekarang aku masih bingung nyari-nyari kamu dan nggak berani kenalan duluan.”
Mengingat bagaimana Baskara dulu tak kalah kikuk saat bisa dekat dengan Hiranya, melihat wajah panik kekasihnya saat tahu jika ban motor yang akan ia bawa pulang sudah bocor tak terisi angin. Dalam hati Baskara, pria itu sangat bersyukur bisa membantu Hiranya juga akhirnya melihat nama kekasihnya itu dalam seragam, setelah berbulan-bulan Hiranya tak terlihat memakai bet nama. Demikianlah bagaimana Baskara akhirnya memberanikan diri untuk membantu, di iringi rasa penasaran akan Hiranya, melihat wajah laki-laki itu dalam dekat, mengantarnya ke rumah, spontan mengajak Hiranya ke kantin dan diakhiri dengan dirinya yang jujur bahwa ingin mendekati laki-laki itu.
Baskara tak bisa menembak orang, ini kali pertama dia bisa mengajak orang lain untuk berpacaran. Walau harus bertemu diam-diam dan hanya membawa satu kresek berisi jajanan kantin, Baskara dengan perasaan meletup, gelegak jantungnya yang terasa cepat, ia akhirnya mengutarakan maksudnya kepada Hiranya, yang dibalas anggukan oleh kekasihnya itu. Tak ada lagi hal yang sepatutnya Baskara sesali, melihat Hiranya Zauli Muneer berada di depannya adalah kebahagiaan yang tak pernah bisa ia utarakan.
“Sayang, Ranya, sambelnya nggak pedes. Tapi kamu dua sendok aja, ya.”
“Iya, Bas.”
Dan Hiranya tak lagi harus bertanya-tanya bagaimana rasanya dicintai oleh orang lain, saat Baskara kini datang dan selalu melindungi dirinya. Bagaimana Baskara selalu mencoba sambal yang ada di warung terlebih dahulu agar Hiranya tak merasa terlalu pedas, menaiki tangga kayu saat mereka mencari salah satu bakso di pojok kota. Saat itu, tangga kayunya terlihat lapuk, lalu Baskara mulai naik dengan kaki yang sedikit ia hentak-hentakkan ke salah satu bagian tangga, dan kembali turun agar Hiranya dapat naik duluan, selepas memastikan jika tangga itu aman untuk kekasihnya. Atau di waktu-waktu Hiranya akan pulang ke rumah, Baskara pasti akan datang duluan menuju tempat parkir, melihat bagian motor Hiranya, takut jika kekasihnya akan pulang dengan motor yang tak bagus. Rutin mengantar Hiranya untuk mengganti oli juga mengajak kekasihnya itu untuk datang pada agenda bertemu teman-teman motornya.
Baskara selalu memperkenalkan Hiranya dengan bangga kepada teman-temannya, menggenggam tangan kekasihnya dengan erat. Atau terkadang akan mencuri ciuman di pipi saat temannya sedang lengah juga mengobrol. Setelah itu, Hiranya akan menunduk malu, mencoba meminum es pesanannya, menutupi bagaimana dirinya yang dikuasai oleh salah tingkah.
“Later, when I look back on my teenage years, my teenage years will be all about you, Baskara.”
“Me too, Hiranya.”
Sepanjang tahun-tahun di masa sekolah menengah telah Hiranya juga Baskara lewati, mereka pun masih bersama. Baskara masih tetap dengan rasa pedulinya, dan Hiranya yang semakin hari semakin ingin selalu di dekat Baskara.
“Kamu pinjem kamera siapa?”
“Mbak Eka. Kertas polaroidnya aku beli sendiri, sayang.”
Hiranya juga Baskara kini sedang duduk di pojok kiri hutan kota, menghabiskan hari minggu bersama setelah jarang bertemu saat di sekolah karena ujian. Baskara tak melewatkan kesempatan untuk mencium pipi milik Hiranya berulang kali, sedangkan kekasihnya sendiri sibuk melihat kamera polaroid.
“Hasilnya bagus, tuh! Kita udah foto berdua, nih satu buat kamu, satu buat aku.”
“Ra, cium aku juga, dong!”
Tak ada balasan dari Hiranya. Namun, selepas itu ia mendengar kecupan yang berasal dari sampingnya, Hiranya mencium polaroid yang akhirnya ia sodorkan pada Baskara. “Tuh, ciumannya justru bakalan selamanya nempel.”
Dengan sigap Baskara langsung mengambilnya dan memasukkan polaroidnya kedalam dompet. Hiranya pun kini melihat bagaimana dompet Baskara terisi oleh foto 2×3 miliknya yang masih terpasang rapi, foto saat Hiranya mendaftar OSIS di sekolah. Juga satu foto dengan wajah Hiranya saat SD, Baskara meminta foto itu setelah melihat Hiranya yang tak sengaja menjatuhkan fotonya di lantai rumah.
“Kamu dulu lucu banget pas disuruh maju ngambil hadiah buat kelompok, pipi kamu tumpah-tumpah terus mukanya merah kayak orang pilek. Pas itu, pas hari kedua pengenalan sekolah, aku liat kamu di lapangan, tiba-tiba aku salah tingkah sendiri. Padahal kamu senyum ke semua orang, tangan kamu keeeeciiil banget, sayang! Edgar yang ada di sampingku ngeluh sakit soalnya tangan dia aku remes kenceng.”
“Kamu cerita itu udah beribu kali tau, Bas. Aku udah hapal gimana alur ceritanya.”
“Aku nggak akan pernah lupa, cinta! Aku bakal ceritain ke semua orang nantinya gimana awal aku bisa ketemu dan suka sama kamu. Semua orang harus tau kalau pacarku gemes banget!”
Lalu Baskara langsung mencium pipi milik Hiranya lagi dan lagi. Melampiaskan rasa gemas pada kekasihnya. Memeluk kekasihnya itu dengan erat.
“Udah mau malem, mau cari makan nggak?”
“Mau, cinta! Ayo kita cari makan bersama Baskara!”
Masih dengan warung soto yang dulu mereka kunjungi, juga masih dengan Hiranya juga Baskara yang tak pernah melepas genggaman mereka. Langit sudah gelap, banyak lampu-lampu jalanan yang kini sudah di hidupkan. Jalanan ramai dan warung soto ikut untuk meramaikan. Malam kini terang, saat Hiranya sadar bahwa Baskara masih berada di depannya. Mata Baskara tak lepas dari bagaimana ia melihat presensi Hiranya, membuat laki-laki itu menahan napas. Hiranya masih tak bisa dilihat Baskara dengan intens, gelegak jantungnya akan sangat kencang.
“Breathe, love, breathe. Baskara here.”
Dengan Baskara lah Hiranya menghabiskan waktu remajanya. Lelaki itu mengelus pipinya dengan lembut lalu naik ke rambut dan mengelusnya pelan. Tatapan Baskara masih sama seperti dulu-dulu, memuja bagaimana cantiknya Hiranya. Mencium kecil tangan kekasihnya. Membuat Hiranya tak lagi merasa bahwa cinta adalah misteri, selepas ia berjalan berdampingan dengan Baskara.
With you, I’m walking back home.